The Storywriting of “Acceptance”, The Animated Short Movie

Bercerita tentang seorang gadis yang tertukar tubuhnya, ACCEPTANCE merupakan sebuah analogi mengenai Borderline Personality Disorder. Borderline Personality Disorder atau yang biasa dikenal dengan BPD (Indonesia: Gangguan Kepribadian Ambang) adalah gangguan kepribadian yang memiliki gejala citra diri yang terganggu, usaha berlebihan untuk menghindari pengabaian yang diimajinasikan, reaksi emosional yang ekstrim, cara berpikir yang hitam atau putih, perilaku impulsive atau berbahaya (belanja, seks, penyalahgunaan zat, setir ugal-ugalan, makan yang berlebihan), relasi interpersonal yang tidak stabil, perilaku yang merugikan atau merusak diri sendiri, citra diri yang terdistorsi, disosiasi, dan seringnya ditemani oleh depresi, kecemasan, amarah, dan lain-lain.

Pada artikel ini, aku akan membahas tentang penulisan cerita film animasi pendek ACCEPTANCE yang menggunakan analogi seperti film Out Of Sight (2006) Karya Ya-Ting Yu yang menceritakan tentang seorang anak yang tidak dapat melihat, namun ketika Ia menggunakan “tongkat ajaib” miliknya, benda-benda akan menjadi terlihat. Hal ini merupakan analogi dari tongkat berjalan yang menghasilkan suara dan membantu perabaan dalam membantu pasien tunanetra bernavigasi.

Cerita dimulai dengan karakter utama, Li Xing yang diberikan pilihan untuk lahir kembali, dan Ia pun menyetujui. Li Xing yang logis dan rasional pun optimis akan mendapatkan sahabat untuk gadis yang merupakan pemilik tubuh barunya, Qing Huai.

Namun semua rencana berubah disaat Li Xing mulai kehilangan kendali akan tubuhnya dari waktu ke waktu, sehingga saat ia hilang kendali, Ia menyakiti teman-temannya secara verbal. Lama kelamaan, masing2 dari teman Li Xing tidak mau lagi berteman dengan Li Xing.

Pelan pelan, Li Xing pun menutup diri. Namun, saat ibunya menunjukkan dukungan, Li Xing menjadi terinspirasi untuk menerima keadaannya sekarang. Dan saat Ia menerima, tubuhnya menjadi warna normal, yang tadinya biru saat tenang dan merah saat marah/sedih.

Film ini adalah analogi dari perasaan yang dirasakan olehku, karena film ini sendiri juga berdasarkan pengalaman pribadi. Saat aku “kumat”, aku masih bisa berpikir rasional dan tahu respon yang sesuai di dalam hati, namun seolah-olah tubuhku meluap dengan emosi dan aku tidak bisa mengontrol perasaan dan emosi yang kurasakan. Peran Ibu sangatlah penting karena aku mulai membaik ketika ditunjukkan support oleh keluarga dan mendapat bantuan secara profesional, yang tidak akan mungkin bila aku tidak mendapat support keluarga.

Tujuan utama film ini dibuat adalah untuk meningkatkan kesadaran dan toleransi masyarakat Indonesia mengenai kesehatan mental.