Memahami Animasi
Kata animasi berasal dari kata kerja dalam bahasa latin “animare”, yang berarti “menghidupkan” atau ”memberi nafas” (Wright, 2005). Sehingga animasi dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menghidupkan atau memberi kesan atau ilusi hidup atau bergerak dari gambar diam atau benda mati.Secara teknis animasi berarti menghidupkan urutan still image (gambar tidak bergerak), atau teknik memfilmkan susunan gambar atau model untuk menciptakan rangkaian gerakan ilusi. Pengertian yang menarik dikemukakan oleh oleh Norman McLaren, salah seorang seorang pioner dalam experimental animationyang mengemukakan bahwa “Animation is not the art of drawing that move, but rather the art of movement that are drawn. What happen betwent each frame more important than what happens on each frame” (Solomon dalam Wells, 1998). Jadi animasi dibentuk dari model-model gerakan yang divisualkan secara grafis maupun obyek. Dalam hubungannya dengan realitas dan film berbasis live shot atau live action, menarik untuk menilik apa yang dikemukakan oleh dua orang animator asal Ingris John Halas dan Joy batchelor yang mengemukanan bahwa “If it’s the live-action film job to present physical reality, animated film is concerned with methaphysical reality-not how thing ook, but what they mean”(Hoffer dalam Weels, 1998). Pendapat tersebut seolah mengukuhkan konsep ilusi Plato yang berpandangan bahwa realitas yang asli berada dalam pikiran yang merupakan ide bawaan menjadi relevan untuk menjelaskan ilusi dalam animasi. Dengan sudut pandang yang sedikit berbeda dari konsep ideal Plato, ilusi dalam animasi menunjukkan realitas yang ada dalam dunia animasi (realitas animasi) pada dasarnya adalah kepalsuan, tiruan, tidak asli, atau simulasi. Namun bentuk simulasi ilusi itu dalam perkembangan terkininya, mampu mensimulasikan realitas lengkap dengan hukum dan aturan yang berlaku pada hukum alam sehingga menciptakan apa yang disebut realitas virtual atau realitas buatan(artifisial reality). Bahkan dalam tahap tertentu menciptakan realitas yang melampaui realitas asli yang disimulasikannya hingga terciptalah apa yang disebut dengan realitas virtual yang melampui realitas yang disebut dengan hiper realitas (hyper reality).
Pada kenyataannya, upaya untuk menghidupkan benda atau gambar mati dalam animasi bukanlah proses yang sederhana. Terutama dalam simulasi realita berbasis animasi proses ilusi hidup merupakan proses yang sangat kompleks, yang menunjukkan bahwa realitas yang tampak sederhana ketika masuk dalam detailnya ternyata sangatlah kompleks. Fenomena seperti itu dapat dipandang sebagai bentuk kompleksitas dalam animasi dari realitas yang jauh lebih kompleks.Ketepatan dan ketelitian mengambil bentuk bentuk sederhana dari realitas yang sangat komplek inilah yang sesungguhnya menjadi tantangan dalam memproduksi sebuah film animasi. Fantasi dan imajinasi yang hadir dan mewujud dalam animasi sekalipun adalah bentuk refleksi yang lebih sederhana daripada realitas atau fenomena alaminya (Wells, 1998). Sedangkan menurut ahli semiotika (semiotican) Yuri Lotman (dalam Pikkov, 2010) melihat animasi sebagai sebuah sistem yang spesifik yang memiliki “kosa kata” sendiri dengan mengatakan; “The animated cartoon is not a variety of the feature cinema but represents a quite independent form of art, with its own artistic language, opposed in many ways to the language of the feature cinema or the documentary”. Lebih jauh Menurut Lotman (Pikkov, 2010), “The basic property of the language of animation is that it operates with a sign of a sign”. Namun dalam perkembanganya pengertian animasi mengalami perubahan atau pergeseran makna. Dalam catatan sejarawan animasi Giannalberto Bendazzi (2007) menyebutkan bahwa;“Between about 1895 and 1910 the term animated was applied to things that today are called live action, which we often group in a distinctly differentcategory. At that time, “animated photography” was the commonterm, and a little later the equally rudimentary phrases moving picture ormotion picture came into use”. Dengan demikian, animasi sebagai medium seni kreatif tidaklah statik, tapi terus mengalami perkembangan bentuk dan makna, berkembang sesuai dengan konteks sejarah, teknologi, sosial, dan budaya, yang menyertainya. (AK)
References
Wright, Jean A. (2005), Animation Writing and Development: from Script Development to Pitch, Elsevier, Burlington.
Wells, Paul (1998), Understanding Animation, Routledge, London.
Pikkov, Ulo. (2010), Animashopy; Theoretical Writings on the Animated Film, Estonian Academy of Arts, Estonia.
Bendazzi, Giannalberto (2007),“Defining animation–a proposal.”P?ehlídka animovaného filmu/Festival of Film Animation.(Kon)texty/(Con)texts, http://www.pifpaf.cz/cs/kontexty/30-kontexty/160-defining-animation-a-proposal accessed 24 July2014).
Comments :