Tulisan ini pernah dimuat di majalah CHIP Special, edisi Animasi bulan Desember 2011. Judul dan beberapa bagian telah  diedit untuk perbaikan & menyesuaikan halaman situs yang tersedia.

Post Production VS Animation House

Industri animasi Indonesia bagai dunia persepakbolaan kita. Banyak yang gandrung, tapi industrinya mudah terseok-seok. Kalaupun ada yang berkilah animasi Indonesia sebenarnya bagus mungkin yang dimaksud bukan industrinya, tapi lebih ke individu para animatornya.

Jika mau jujur, perusahaan yang terkait dengan animasi, yang berkembang di Indonesia adalah post-production, yang sebagian besar ada di Jakarta. Sudah jamak diketahui di kalangan pekerja seni bidang film, iklan dan animasi,  para animator handal kita lebih sering nongkrong di post-production. Dengan tarif yang lumayan tinggi, wajar jika pada akhirnya post-production menjadi tumpuan mencari nafkah.

Ironisnya animation house tidak tumbuh sesubur post-production. Beberapa rumah produksi yang lumayan berkembang, baru sebatas memenuhi permintaan produksi dari pihak luar negeri dengan batasan-batasan tertentu. Jadi belum sampai menciptakan produk dan mengembangkan brand animasi lokal dengan serius. Serius di sini berarti memang benar-benar “berkorban” dari sisi investasi alat, riset produk yang mendalam dan menyiapkan sumber daya manusia yang tangguh.

Jika melihat pasar lokal, khususnya stasiun TV lokal, rasanya belum mampu menyerap produksi dalam negeri. Penghargaan secara materi yang belum berimbang dari biaya produksi menjadi andil bagi animation house tidak terlalu berani menciptakan produk untuk pasar lokal. TV lokal pun belum berani berisiko utk membeli animasi lokal dengan harga tinggi. Sementara modal sesungguhnya untuk membuat “pabrik” animasi tidaklah murah. Wajar investor kerap berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya. Sementara untuk menciptakan produk sendiri untuk menembus pasar global pun tak mudah. Merancang animasi memang berbeda dengan memproduksinya. Beda kasusnya dengan serial Upin & Ipin yang orisinal garapan negara tetangga yang mampu menembus pasar internasional.

Sunti & Kunti, prototype serial animasi karya dosen-dosen animasi Binus

Progam Animasi Binus, Menuju Pendidikan Animasi Yang Ideal

Adanya booming pendidikan desain, khususnya DKV (Desain Komunikasi Visual) di Indonesia saat ini sebenarnya bisa menjadi momentum munculnya orang-orang kreatif yang mulai berpikir untuk membangkitkan industri ini. Hanya sayangnya pendidikan DKV bukanlah pendidikan animasi, jadi musti ada lompatan berpikir jauh ke depan. Salah kaprah yang terjadi adalah, hanya karena software 3D animasi dianggap bagian dari IT. Sekolah DKV berpikir animasi bagian dari komunikasi visual, ilmu perfilman berpikir sinematografi di animasi adalah bidang mereka. Padahal dalam animasi masih ada ilmu gerak, teater, akting dan seni rupa dll. Lalu milik siapa animasi itu?

Jika investor ragu, sementara animator bersusah payah meyakinkannya, asosiasi profesi masih mencari bentuk, apakah lembaga pendidikan bisa diharapkan? Pertanyaan berikutnya apakah dengan menyelenggarakan pendidikan animasi persoalan industri animasi akan terpecahkan? Berinvestasi secara alat bisa dilakukan pendidikan tinggi, tetapi investasi sumber daya manusia belum tentu. Tak banyak animator handal yang mau berbagi ilmu karena kesibukan mereka yang tinggi.

Pertanyaan di atas sesungguhnya adalah peluang. Peluang inilah yang ditangkap program animasi Binus. Belajar dari ilmu kedokteran yang sudah demikian solid, dari organisasi profesinya hingga pendidikan tingginya, akhirnya peluang ini ditangkap dengan meniru ala sekolah kedokteran. Jika mau membuka sekolah kedokteran bukalah rumah sakitnya, jika mau buka sekolah animasi buatlah sekalian “pabriknya”, dan di program animasi Binus telah melakukannya.***