THE MAKING OF “AQUIESCENCE”


Melihat perubahan dunia dari sudut pandang sebuah pohon. AQUIESCENCE adalah sebuah film animasi pendek 2 dimensi bergenre fantasi yang menceritakan tentang Fig, pohon beringin ajaib yang berhasil selamat dari beberapa peristiwa buruk yang menyebabkan ia kehilangan teman-teman dan lingkungan sekitarnya. Ia berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan baru, tetapi perubahan zaman tidak akan pernah berhenti seperti layaknya sebuah siklus yang tak akan pernah berakhir. Fig menjadi saksi akan segala perubahan yang terjadi, segala perjumpaan dan perpisahan.

Concept

Konsep dan ide dari film AQUIESCENCE ini muncul awalnya karena kesukaan saya dengan environment dan ingin membuat short animation yang memang menjadikan environment sebagai peran utama dari sebuah film.  Selain unik dan berbeda, konsep yang saya pilih ini sangat cocok dengan interest saya sehingga saya pun enjoy membuatnya karena segala sesuatu akan menjadi indah jika kita membuatnya dengan hati yang gembira.

Setiap hari saya melakukan obervasi hingga akhirnya menemukan sebuah pohon beringin tua di bundaran jalan raya yang tumbuh seorang diri. Bertahun-tahun lamanya ia tumbuh disitu dari linkungannya masih asri, hingga dipenuhi gedung. Darisitu muncullah ide cerita AQUIESCENCE ini, sebuah kisah tentang pohon beringin yang menjadi saksi sejarah perubahan lingkungan.

Konsep AQUIESCENCE merupakan sebuah film yang dimana environment akan memiliki peran lebih besar dibandingkan karakter. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan penulis bahwa, environment masih dianggap elemen yang tidak penting dan cenderung diabaikan sehingga hal ini merupakan peluang bagi penulis untuk membuat film pendek animasi yang dimana environment justru memiliki peran penting dan aktif sedangkan karakter cenderung pasif di dalam film.

AQUIESCENCE terdiri dari 6 jenis environment dan 2 karakter. Setiap Environment penulis gunakkan color pallete yang berbeda-beda pastinya untuk mendukung mood yang berbeda pula. Untuk hutan, didominasi oleh warna hijau dan tropical agar terkesan menyegarkan sedangkan untuk kota metropolitan didominasi dengan warna merah magenta agar terkesan panas tetapi masih memiliki benang merah dengan warna tropical. Untuk kota yang hancur, penulis menggunakkan warna biru agar mendukung mood sedih dan gloomy. 

Melalui film pendek ini, penulis berusaha menyajikan tampilan dan konsep yang berbeda dari animasi lain yang biasanya cenderung mendominasi karakter, dengan sajian cerita dari sudut pandang sebuah pohon yang hidup ratusan tahun yang dapat membuat penonton sadar dan siap akan perubahan yang akan terus terjadi di sekitar kita dan tidak bisa dihindari. Hal-hal tersebutlah yang membuat film pendek ini memiliki nilai lebih dan menarik.