Merupakan sebuah film animasi singkat minimalis, menceritakan tentang Heri seorang fotografer yang melihat keunikan pasar Tradisional dari perspektif yang berbeda pada masyarakat umumnya, keunikan sisi tradisional yang seakan tak terlekang oleh waktu hingga dapat bertahan di arus modern. Pasar tradisional memiliki nilai sosial dan budaya yang tinggi sehingga sangat menarik untuk mengekspos hal-hal yang ada di dalamnya maupun sekitarnya. Keunikan masyarakat Urban di dalam dan sekitar Pasar yang masih kental dengan kebudayaan asal mereka memberi kesan bahwa nilai sosial dan budaya akan selalu terikat dengan perkembangan zaman. “Society is Unity in Diversity

CONCEPT

Berawal dari slogan-slogan konyol nan unik di sekitaran Pasar yang penulis temui memberi ide tersendiri sebagai topik dalam perancangan animasi Tugas Akhir yang berjudul POTRET. Untuk itu penulis mulai mencoba mengobservasi baik di dalam, luar sekitaran pasar tersebut hingga masyarakat Urban yang berperan mengisi pasar ini dengan kebutuhan sehari-hari mereka.

Konsep dalam  animasi POTRET ini sendiri memanfaatkan environment sebagai fokus elemen yang hendak penulis eksplor. Kebhinekaan digambarkan lewat lensa potret, pasar diibaratkan sebagai miniatur kecil Indonesia sedangkan produk dagangan, baik sayuran, buah-buahan, dll merupakan cerminan bangsa Indonesia itu sendiri yang beraneka ragam suku, budaya, ras dan agama.

Tujuan dari animasi ini adalah untuk mengekspos lebih dalam eksistensi dari Pasar Tradisional sebagai miniatur kecil Indonesia yang dipenuhi oleh keanekaragaman budaya dan kearifan lokal yang keberadaannya kini mulai tenggelam. Pasar ini merupakan tempat menjaga dan menyangga dinamika sosio-kultural dan termasuk perwakilan budaya lokal. Budaya ini tak serta merta kaku namun akan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.

Melalui film pendek ini penulis mengibaratkan seperti dua sisi koin. Disatu sisi penulis mengkritik birokrasi pemerintah dan masyarakat itu sendiri, kemudian sisi area kumuh (slam area) inilah yang penulis jadikan sebagai ART. Disisi lain penulis juga harus bisa mengeksplor kehangatan visual dengan membawa nama baik (proud) Indonesia  ke negara lain. Hal inilah yang membuat film pendek ini memiliki daya tarik tersendiri.

Akhir kata, penulis berharap semakin banyak generasi-generasi muda di bidang industri kreatif di Indonesia ini yang mengangkat creative value sehingga lebih dihargai oleh masyarakat sekitar selaku konsumen ke depannya dan mengangkat tema local content karena Indonesia memiliki banyak sekali aspek budaya yang kental dan inilah yang membuat ciri khas tersendiri 🙂

 

DESAIN KARAKTER

  1. Heri

Heri adalah fotografer yang melakukan sesuatu berdasarkan free-will, ia bebas dan tidak terkekang. Penulis menggambarkan Heri mengenakan pakaian yang ringan dan casual, dengan celana panjang coklat. Untuk warna hijau gelap pada baju mensimbolkan Indonesia sebagai negara agraris, sedangkan warna biru gelap pada topi mensimbolkan Indonesia sebagai negara maritim. Warna coklat itu sendiri sebagai simbol tanah air. Ada 2 hal yang difokuskan dalam karakter Heri ini yakni PASSION (pengeksplorasian bakat) dan OBYEKTIVITAS (netral, melihat sesuai realita yang ada). Nama Heri terinspirasi dari seorang street photographer yang bernama Ahmad Syukaeri.

  1. Rizky

Karakter ini merupakan karakter yang berperan sebagai masyarakat Urbanyang berjualan bakso. Nama Rizky terinspirasi oleh faktor keberadaan masyarakat Urban yakni mencari nafkah (rezeki) di kota untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik/layak. Gerobak bakso bertuliskan “Bakso Cinta” ini dimaksudkan sebagai lambang cinta kasih yang menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara yang selain kaya akan budaya juga kaya akan nilai keramah-tamahannya.

  1. Karakter Sampingan Lainnya

Terdapat beberapa karakter lainnya seperti abang penjual CD bajakan (dalam hal ini penulis mengkritik fenomena bajakan di tanah air), lalu seorang wanita muda yang gemar berhutang (menandakan sebagai orang Urban yang memiliki masalah ekonomi), dan 2 anak kecil berusia sekitar 10 tahun ke bawah (kritik terhadap anak kecil zaman sekarang yang lebih memilih gadget ketimbang berinteraksi sosial dengan sesamanya).