Sebuah judul yang cukup singkat, tetapi cukup menjelaskan apa inti dari penulisan ini. Animasi, adalah sebuah dunia yang hampir bisa dipastikan sebuah dunia yang tidak nyata. Sebuah dunia imajinasi, yang dibangun oleh para pemimpi yang secara kebetulan memiliki kemampuan menuangkan imajinasi itu kedalam bentuk visual bergerak. Dalam perkembangannya, dunia imajinasi ini dibangun dari berbagai macam teknik, mulai dari yang paling konvensional, memotret setiap lukisan satu persatu, hingga yang paling mutakhir, memotret gerakan dan memindahkan-nya langsung ke dalam dunia digital menggunakan motion capture.

Nah, dari paragraph diatas, ada dua kata yang saya sebut cukup tegas yaitu memotret dan capture. Kedua kata ini adalah kata yang sering digunakan di dalam dunia photography. Photography, secara ruang lingkup bidang sangatlah luas. Dalam dunia animasi pun, photography erat kaitannya, dan tidak pernah lepas perannya walaupun di era modern sekarang animasi sudah masuk ke ranah digital.

Dalam dunia digital, animasi sudah cukup wara-wiri di dunia 3D kurang lebih 15 tahun ke belakang. Di dalam dunia 3D hampir semua elemen visual diciptakan secara artificial. Semua yang dibuat bisa dibentuk dari tidak ada menjadi sebuah bentuk yang sangat kompleks, murni dengan bantuan software saja tanpa ada elemen analog di dalamnya. Begitu canggihnya teknologi yang ada  sekarang ini memungkinkan para modeler dan animator untuk berkreasi hanya dengan duduk nyaman di depan komputer.

Lantas, bagaimana photography berperan di era dunia digital yang serba mandiri ini. Jika kita merujuk kepada film yang cukup fenomenal tahun lalu, Inception (2011), jika ingin membuat orang percaya, mimpi harus bersumber kepada dunia nyata walaupun di dalam dunia mimpi itu nantinya, elemen-elemen ini hanya dipakai untuk membuatnya “terlihat” lebih nyata.

Sama prinsipnya, ketika kita akan membuat sebuah cerita animasi dengan visual yang menarik, yang merujuk kepada dunia nyata, maka sudah pasti semua proses penciptaan harus diawali dengan merekam segala macam bentuk yang ada di dunia nyata. Kita tidak bisa dengan mudahnya hanya bermodalkan imajinasi standar untuk menciptakan sebuah visual yang appealing. Visual ini harus diciptakan dengan menggunakan referensi yang tepat. Tujuannya jelas, agar gambar dapat meyakini para audience yang menikmati, karena petualangan menyaksikan sebuah animasi akan dapat lebih terbangun jika elemen-elemen yang ada disana tergambarkan secara terperinci.

Dalam karya animasi terbaru produksi Animaraya, Si Jambul, saya ikut membantu para animator untuk membangun visual-visual disana dari sisi photography. Ada dua perjalanan yang saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan visual di 2 episode si Jambul. Yang pertama saya pergi ke Yogyakarta, kemudian lanjut ke pulau Dewata. Perjalanan ini dirasa cukup penting karena dari awal, konsep visual dari Si Jambul yang ingin dikembangkan tentunya adalah sebuah petualangan yang dilakukan di sebuah lokasi fiktif yang dibangun berdasarkan situasi nyata.

referensi suasana Bali

Studi bentuk dan visual di lokasi perlu dilakukan untuk membangun ambience dan mood. Sebuah skenario akan terbangun rapih jika studi ini dilakukan secara cermat. Bagaimana suasana pedesaan di daerah Muntilan, kemudian ornamen -ornamen dekorasi yang begitu mendetail pada Pura dan perkampungan di Bali pada umumnya. Semua ini hanya bisa dilakukan jika kita benar-benar datang ke lokasi dan merekam segala bentuk-bentuk yang dirasa menarik untuk dijadikan referensi. Referensi ini nantinya akan dapat membantu para animator untuk berimajinasi, karena imajinasi harus terbangun dari rekaman-rekaman dunia nyata.

suasana pedesaan sekitar Yogjakarta & Muntilan

Kesimpulannya, referensi dunia nyata layak dilakukan jika cerita yang ingin dibangun merujuk pada situasi nyata. Sewalah jasa seorang fotografer profesional, atau setidaknya ajak para animator jalan-jalan karena itu penting perannya dalam mengembangkan daya imajinasi mereka.